Selasa, 17 November 2020

RIBA

 

1.    Pengertian Riba

        Kata Riba (اَلرِّبوا  ) menurut bahasa artinya Azziyaadah (اَلزَّيَادَةٌ) yaitu tambahan atau kelebihan. Riba menurut istilah syara’ ialah suatu akad yang terjadi dalam tukar-menukar suatu barang atau uang yang disyaratkan adanya tambahan atau kelebihan dalam jumlah maupun jenisnya yang harus dibayar oleh salah satu pihak sehingga akan merugikan.

Jika terdapat tambahan dari pinjaman tanpa adanya perjanjian sebelumnya maka tidak termasuk riba. Misalnya sebagai ungkapan terima kasih karena telah dibantu, maka hukumnya halal dan bahkan dianjurkan.

2.    Hukum Riba

Hukum riba adalah haram. Riba dilarang untuk dilakukan oleh setiap muslim dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun, karena harta yang diperoleh dengan cara ini (riba) termasuk harta dari tindakan merugikan, memberatkan, menyulitkan dan menyengsarakan orang lain.

Firman Allah SWT:

¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qtÌh9$# ... (البقرة: ٢٧٥ )

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).

Dalam ayat yang lain :

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qtÌh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? .       ( ال عمران: ١٣٠ )

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)

Dalam ayat yang lain :

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB . (البقرة: ٨ ٢٧ ) 

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278)

 

 

 

 

Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكَلَ الرِّبَوا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ. (رواه مسلم)

 “Dari Jabir RA. ia berkata: ‘Rasulullah SAW telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya’. Dan (selanjutnya) Nabi SAW bersabda: ‘Mereka itu semua sama saja’.” (HR. Muslim).

3.    Jenis-jenis Riba

Menurut pendapat para ulama berdasarkan jenisnya, riba dibagi menjadi empat macam, yaitu:

a.    Riba fadhli (رِبَا الفَضْلِ )

Riba Fadhli adalah suatu akad berupa tukar menukar dua buah barang yang sama jenisnya, tetapi ukuran dan jumlahnya berbeda.

Contoh: Tukar-menukar gula putih sebanyak 100 kg dengan gula putih sebanyak 110 kg, maka selisih 10 kg tersebut termasuk riba fadhli.

Untuk menghindari riba, maka ada tiga syarat dalam tukar-menukar barang, yakni:

1)    Sama jenis barangnya.

2)    Sama timbangan atau ukurannya.

3)    Penukaran barang dilakukan secara bersamaan waktunya.

Rasulullah SAW melarang riba fadhli dalam sebah hadis yang artinya: “Saya mendengar Rasulullah SAW melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, kecuali sama banyaknya dan dilakukan dengan tunai. Maka siapa saja yang menambahkan atau melakukan penambahan, sesungguhnya ia telah melakukan riba.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

b.    Riba Qardhi  (رِبَا القَرْضِ )

Riba Qardhi adalah memberi utang sesuatu dengan syarat adanya keuntungan atau tambahan dalam pengembaliannya sebagai keuntungan bagi orang yang meminjamkan. Pemberian utang dengan perjanjian akan memberi kelebihan dari besar utang pokok dan pengembaliannya dapat dilakukan seketika atau melalui angsuran atau lebih dikenal dengan sistem bunga.

Misalnya: Pak Sutarno utang kepada Jacky sebesar Rp. 250.000 dengan perjanjian pak Sutarno harus mengembalikan utang tersebut menjadi sebesar           Rp. 280.000, maka selisih Rp. 30.000 tersebut termasuk riba qardhi.  

Sabda Rasulullah SAW:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا. (رواه البيهقى)

 “Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (HR. Baihaqi)

c.    Riba Nasi’ah (رِبَا النَسِيْئَةِ  )

Riba Nasi’ah adalah suatu akad dalam tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis yang pembayarannya disyaratkan lebih, karena adanya kelambatan atau penundaan dalam pembayaran.

Contoh: Bu Supartini membeli beras seberat 50 kg, oleh penjualnya pembayarannya disyaratkan bulan depan dengan beras seberat 52 kg, dan apabila terlambat satu bulan lagi maka tambah 2 kg sehingga menjadi 54 kg dan seterusnya.

Sabda Rasulullah SAW:

عَنْ سَمُرَةَ ابْنِ جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً

                                                                 (رواه الخمسة)

“Dari Samuran bin Jundub, sesungguhnya Nabi SAW telah melarang jual beli hewan dengan nisi’ah (bertenggang waktu mencari keuntungan).” (HR. Imam Lima)

d.    Riba Yad (  رِبَا اليَدِ )

Riba Yad adalah berpisah dari tempat akad sebelum timbang terima barang yang ditukar sehingga dikhawatirkan adanya kelebihan atau kekurangan pada barang tersebut.     

Contoh:  Bu Nita membeli kentang sejumlah 25 kg, sebelum ditimbang Bu Nita sudah pergi meninggalkan tempat akad, hal ini dilarang karena tidak diketahui apakah timbangannya cukup atau belum.

 

4.    Akibat Buruk dari Riba

Sebab-sebab diharamkannya riba, karena mengandung dampak yang sangat buruk bagi keberlangsungan hidup manusia, antara lain:

a.    Riba mengandung unsur kemadharatan (kerugian) yang besar, baik secara individu maupun sosial.

Secara individu ia akan mendapatkan murka dan laknat dari Allah dan rasul-Nya, sedangkan secara sosial riba selain membawa bencana kepada korban, orang yang memakan riba akan dikucilkan oleh lingkungan sosialnya.

b.    Riba merupakan modus usaha yang tidak adil.

Hal ini terjadi karena keuntungan yang diperoleh pemilik modal bukan hasil dari jerih payahnya atau usaha yang halal, tetapi hasil dari mengeksploitir kaum lemah, sehingga dampaknya mereka yang kaya semakin kaya dengan pemerasan harta terhadap kaum lemah (dhuafa’), sementara yang miskin semakin tidak berdaya.

 

c.    Riba bisa menyebabkan  kehancuran tatanan masyarakat.

Sudah menjadi realita bahwa krisis ekonomi yang terjadi ini tidak lepas dari pengaruh sistem riba yang merajalela. Dan tidak ada lagi niat untuk membantu sesama dengan memberikan modal usaha secara ikhlas, bahkan cenderung mencari keuntungan pribadi sebesar-besarnya tanpa mempedulikan nasib orang lain.

d.    Orang yang memakan riba akan diadzab oleh Allah SWT. Firman Allah SWT:

ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qtÌh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î 4 $tRôtGôãr&ur tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹#xtã $VJŠÏ9r& . ( النساء: ١٦١ )

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-NIsa’: 161)

e     Hasil dari riba tidak akan membawa berkah. Firman Allah SWT:

!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\Íh (#uqç÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qçötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# . ( الروم: ٣٩ )

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)

5.    Hikmah diharamkannya riba

Hikmah dilarangnya riba  antara lain :

a.    Melindungi harta orang islam agar tidak dimakan dengan cara yang bathil.

b.    Memotivasi umat Islam agar senantiasa mengusahakan hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan.

c.    Menjauhkan diri dari permusuhan dan menyengsarakan saudaranya.

d.    Menumbuhkan jiwa senang menolong dan berbuat baik kepada sesama muslim dalam bidang ekonomi dan keuangan.

e.    Menebarkan kasih sayang kepada sesama muslim.

f.     Menyelamatkan seorang muslim dari ancaman Allah SWT dan laknat Rasulullah SAW karena memungut riba.

g.    Menyelamatkan diri dari sifat serakah atau tamak terhadap harta yang bukan haknya.

h.    Menjauhkan diri dari sifat malas karena hanya mengharapkan keuntungan tanpa harus bekerja keras.

i.     Hidupnya akan tenang karena mendapatkan rejeki dengan jalan yang halal.

 

6.    Bunga dalam Perbankan

a.    Pengertian bunga bank

Bunga bank adalah kelebihan dari pengembalian dana yang dijadikan sebagai modal dengan prosentase tertentu yang ditentukan oleh pihak bank sebelum akad. Misalnya: Abdul Aziz menabungkan uangnya di bank dengan jumlah Rp. 10.000.000, sesuai ketentuan bank bahwa Abdul Aziz mendapatkan bunga sebagai jasa tabungan sebesar  0,5 % perbulan, sehingga Abdul Aziz berhak menerima bunga bank sebesar Rp. 50.000 perbulannya.

Orang yang menyimpan atau meminjam/berutang uang di bank disebut nasabah. Uang yang disimpan di bank oleh pihak bank dipinjamkan kepada orang atau perusahaan lain sebagai modal, maka bank mendapat keuntungan dari modal yang dipinjamkan itu, sehingga nasabah yang menyimpan uangnya di bank akan diberi keuntungan dengan prosentase tertentu, hal ini yang dinamakan bunga bank. Sedangkan nasabah yang meminjam uangnya di bank akan dibebani bunga sebagai hasil usahanya yang disetorkan setiap bulannya beserta angsuran dari pinjaman.

b.    Hukum bunga bank

Persoalan bunga bank termasuk masalah ijtihadiyah, yakni masalah yang menjadi perdebatan/perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Hal ini memang pada zaman kenabian dahulu belum ada istilah bank atau bunga bank, sehingga tidak ada nash dari Al Qur’an maupun Hadis Nabi secara jelas membahas tentang ini.

Adapun pendapat para ulama mengenai hukum bunga bank, di antaranya :

1)    Bunga bank hukumnya haram.

Sistem kerja bunga bank, baik di bank pemerintah maupun bank swasta sama dengan sistem kerja riba, yakni terdapat perjanjian bersyarat dalam utang piutang yakni kewajiban menyetor angsuran modal dan ditambah bunga, jangka waktu, dan sanksi-sanksi apabila kreditor tidak dapat memenuhi kewajibannya. Sehingga dapat diyakini bahwa bunga bank hukumnya haram karena sama dengan memungut riba. 

2)    Bunga bank hukumnya subhat.

Subhat artinya belum jelas antara kehalalan dan keharamannya sehingga harus berhati-hati menghadapinya. Adapun bunga bank ini diperbolehkan jika dalam keadaan terpaksa (darurat) dengan penggunaan sekedarnya saja. Darurat artinya suatu keadaan yang mendesak di mana jika seseorang tidak segera melakukan tindakan secepatnya akan membawa kehancuran atau kematian. 

3)    Bunga bank hukumnya halal.

Hukum bunga bank diperbolehkan karena beberapa sebab yaitu:

a)    Darurat (terpaksa). Darurat adalah keadaan mendesak di mana jika seseorang tidak segera melakukan tindakan maka akan membawa ke jurang kehancuran.

 

b)    Untuk kebutuhan produktif, bukan untuk kebutuhan konsumtif.

c)    Bunga bank dengan prosentase sangat kecil sehingga tidak memberatkan.

Dari tiga pendapat di atas dapat disimpulkan yaitu hendaknya umat Islam hati-hati dengan bunga bank dan umat Islam supaya menjauhkan diri sekuat tenaga atas bunga bank tersebut karena menurut sebagian pendapat termasuk riba yang hukumnya haram. Apalagi sekarang bermunculan bank-bank yang berprinsip syari’ah yakni tidak menerapkan sistem bunga, tetapi dengan sistem bagi hasil.  

4 komentar: