1. Pengertian Riba
Kata Riba (اَلرِّبوا ) menurut bahasa artinya Azziyaadah (اَلزَّيَادَةٌ) yaitu tambahan atau
kelebihan. Riba menurut istilah syara’ ialah suatu akad yang terjadi dalam
tukar-menukar suatu barang atau uang yang disyaratkan adanya tambahan atau
kelebihan dalam jumlah maupun jenisnya yang harus dibayar oleh salah satu pihak
sehingga akan merugikan.
Jika terdapat tambahan
dari pinjaman tanpa adanya perjanjian sebelumnya maka tidak termasuk riba.
Misalnya sebagai ungkapan terima kasih karena telah dibantu, maka hukumnya
halal dan bahkan dianjurkan.
2. Hukum Riba
Hukum riba adalah haram.
Riba dilarang untuk dilakukan oleh setiap muslim dalam bentuk apapun dan dengan
alasan apapun, karena harta yang diperoleh dengan cara ini (riba) termasuk
harta dari tindakan merugikan, memberatkan, menyulitkan dan menyengsarakan
orang lain.
Firman Allah SWT:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$#
tP§ymur (#4qtÌh9$# ... (البقرة: ٢٧٥ )
“Dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah:
275).
Dalam ayat yang lain :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qtÌh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9
tbqßsÎ=øÿè? . ( ال عمران: ١٣٠
)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)
Dalam ayat yang lain :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB . (البقرة: ٨ ٢٧ )
“Hai orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278)
Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكَلَ الرِّبَوا وَمُوْكِلَهُ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ. (رواه مسلم)
“Dari Jabir RA. ia berkata: ‘Rasulullah SAW
telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya
(orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang
menyaksikannya’. Dan (selanjutnya) Nabi SAW bersabda: ‘Mereka itu semua sama
saja’.” (HR. Muslim).
3. Jenis-jenis Riba
Menurut pendapat para
ulama berdasarkan jenisnya, riba dibagi menjadi empat macam, yaitu:
a. Riba fadhli (رِبَا الفَضْلِ )
Riba Fadhli adalah suatu
akad berupa tukar menukar dua buah barang yang sama jenisnya, tetapi ukuran dan
jumlahnya berbeda.
Contoh: Tukar-menukar
gula putih sebanyak 100 kg dengan gula putih sebanyak 110 kg, maka selisih 10
kg tersebut termasuk riba fadhli.
Untuk menghindari riba,
maka ada tiga syarat dalam tukar-menukar barang, yakni:
1) Sama jenis barangnya.
2) Sama timbangan atau ukurannya.
3) Penukaran barang dilakukan secara bersamaan
waktunya.
Rasulullah SAW melarang
riba fadhli dalam sebah hadis yang artinya: “Saya mendengar Rasulullah SAW
melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, kecuali sama
banyaknya dan dilakukan dengan tunai. Maka siapa saja yang menambahkan atau
melakukan penambahan, sesungguhnya ia telah melakukan riba.” (HR. Muttafaq
‘Alaih)
b. Riba Qardhi
(رِبَا القَرْضِ )
Riba Qardhi adalah
memberi utang sesuatu dengan syarat adanya keuntungan atau tambahan dalam
pengembaliannya sebagai keuntungan bagi orang yang meminjamkan. Pemberian utang
dengan perjanjian akan memberi kelebihan dari besar utang pokok dan
pengembaliannya dapat dilakukan seketika atau melalui angsuran atau lebih
dikenal dengan sistem bunga.
Misalnya: Pak Sutarno
utang kepada Jacky sebesar Rp. 250.000 dengan perjanjian pak Sutarno harus
mengembalikan utang tersebut menjadi sebesar Rp. 280.000, maka selisih Rp. 30.000 tersebut
termasuk riba qardhi.
Sabda Rasulullah SAW:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ
مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا. (رواه البيهقى)
“Semua piutang yang menarik keuntungan
termasuk riba.” (HR. Baihaqi)
c. Riba Nasi’ah (رِبَا النَسِيْئَةِ )
Riba Nasi’ah adalah suatu
akad dalam tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis yang
pembayarannya disyaratkan lebih, karena adanya kelambatan atau penundaan dalam
pembayaran.
Contoh: Bu Supartini
membeli beras seberat 50 kg, oleh penjualnya pembayarannya disyaratkan bulan
depan dengan beras seberat 52 kg, dan apabila terlambat satu bulan lagi maka
tambah 2 kg sehingga menjadi 54 kg dan seterusnya.
Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ سَمُرَةَ ابْنِ
جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ
الْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً
(رواه الخمسة)
“Dari Samuran bin
Jundub, sesungguhnya Nabi SAW telah melarang jual beli hewan dengan nisi’ah
(bertenggang waktu mencari keuntungan).” (HR. Imam Lima)
d. Riba Yad (
رِبَا اليَدِ )
Riba Yad adalah berpisah
dari tempat akad sebelum timbang terima barang yang ditukar sehingga
dikhawatirkan adanya kelebihan atau kekurangan pada barang tersebut.
Contoh: Bu Nita membeli kentang sejumlah 25 kg,
sebelum ditimbang Bu Nita sudah pergi meninggalkan tempat akad, hal ini
dilarang karena tidak diketahui apakah timbangannya cukup atau belum.
4. Akibat Buruk dari Riba
Sebab-sebab diharamkannya
riba, karena mengandung dampak yang sangat buruk bagi keberlangsungan hidup
manusia, antara lain:
a. Riba mengandung unsur kemadharatan
(kerugian) yang besar, baik secara individu maupun sosial.
Secara individu ia akan
mendapatkan murka dan laknat dari Allah dan rasul-Nya, sedangkan secara sosial
riba selain membawa bencana kepada korban, orang yang memakan riba akan
dikucilkan oleh lingkungan sosialnya.
b. Riba merupakan modus usaha yang tidak adil.
Hal ini terjadi karena
keuntungan yang diperoleh pemilik modal bukan hasil dari jerih payahnya atau
usaha yang halal, tetapi hasil dari mengeksploitir kaum lemah, sehingga
dampaknya mereka yang kaya semakin kaya dengan pemerasan harta terhadap kaum
lemah (dhuafa’), sementara yang miskin semakin tidak berdaya.
c. Riba bisa menyebabkan kehancuran tatanan masyarakat.
Sudah
menjadi realita bahwa krisis ekonomi yang terjadi ini tidak lepas dari pengaruh
sistem riba yang merajalela. Dan tidak ada lagi niat untuk membantu sesama
dengan memberikan modal usaha secara ikhlas, bahkan cenderung mencari
keuntungan pribadi sebesar-besarnya tanpa mempedulikan nasib orang lain.
d. Orang
yang memakan riba akan diadzab oleh Allah SWT. Firman Allah SWT:
ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qtÌh9$# ôs%ur
(#qåkçX çm÷Ztã
öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î 4
$tRôtGôãr&ur tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9
öNåk÷]ÏB $¹#xtã $VJÏ9r& . ( النساء: ١٦١
)
“Dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.” (QS. An-NIsa’: 161)
e Hasil
dari riba tidak akan membawa berkah. Firman Allah SWT:
!$tBur OçF÷s?#uä
`ÏiB $\Íh
(#uqç÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qçöt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä
`ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur
«!$# y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# . ( الروم: ٣٩ )
“Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian)
Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)
5. Hikmah diharamkannya riba
Hikmah dilarangnya
riba antara lain :
a. Melindungi harta orang islam agar tidak
dimakan dengan cara yang bathil.
b. Memotivasi umat Islam agar senantiasa
mengusahakan hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan.
c. Menjauhkan diri dari permusuhan dan
menyengsarakan saudaranya.
d. Menumbuhkan jiwa senang menolong dan berbuat
baik kepada sesama muslim dalam bidang ekonomi dan keuangan.
e. Menebarkan kasih sayang kepada sesama
muslim.
f. Menyelamatkan seorang muslim dari ancaman
Allah SWT dan laknat Rasulullah SAW karena memungut riba.
g. Menyelamatkan diri dari sifat serakah atau
tamak terhadap harta yang bukan haknya.
h. Menjauhkan
diri dari sifat malas karena hanya mengharapkan keuntungan tanpa harus bekerja
keras.
i. Hidupnya
akan tenang karena mendapatkan rejeki dengan jalan yang halal.
6. Bunga dalam Perbankan
a. Pengertian
bunga bank
Bunga bank adalah
kelebihan dari pengembalian dana yang dijadikan sebagai modal dengan prosentase
tertentu yang ditentukan oleh pihak bank sebelum akad. Misalnya: Abdul Aziz
menabungkan uangnya di bank dengan jumlah Rp. 10.000.000, sesuai ketentuan bank
bahwa Abdul Aziz mendapatkan bunga sebagai jasa tabungan sebesar 0,5 % perbulan, sehingga Abdul Aziz berhak
menerima bunga bank sebesar Rp. 50.000 perbulannya.
Orang yang menyimpan atau
meminjam/berutang uang di bank disebut nasabah. Uang yang disimpan di bank oleh
pihak bank dipinjamkan kepada orang atau perusahaan lain sebagai modal, maka
bank mendapat keuntungan dari modal yang dipinjamkan itu, sehingga nasabah yang
menyimpan uangnya di bank akan diberi keuntungan dengan prosentase tertentu,
hal ini yang dinamakan bunga bank. Sedangkan nasabah yang meminjam uangnya di
bank akan dibebani bunga sebagai hasil usahanya yang disetorkan setiap bulannya
beserta angsuran dari pinjaman.
b.
Hukum bunga bank
Persoalan bunga bank
termasuk masalah ijtihadiyah, yakni masalah yang menjadi perdebatan/perbedaan
pendapat di kalangan para ulama. Hal ini memang pada zaman kenabian dahulu
belum ada istilah bank atau bunga bank, sehingga tidak ada nash dari Al Qur’an
maupun Hadis Nabi secara jelas membahas tentang ini.
Adapun pendapat para
ulama mengenai hukum bunga bank, di antaranya :
1) Bunga
bank hukumnya haram.
Sistem kerja bunga bank,
baik di bank pemerintah maupun bank swasta sama dengan sistem kerja riba, yakni
terdapat perjanjian bersyarat dalam utang piutang yakni kewajiban menyetor
angsuran modal dan ditambah bunga, jangka waktu, dan sanksi-sanksi apabila
kreditor tidak dapat memenuhi kewajibannya. Sehingga dapat diyakini bahwa bunga
bank hukumnya haram karena sama dengan memungut riba.
2) Bunga
bank hukumnya subhat.
Subhat artinya belum
jelas antara kehalalan dan keharamannya sehingga harus berhati-hati
menghadapinya. Adapun bunga bank ini diperbolehkan jika dalam keadaan terpaksa
(darurat) dengan penggunaan sekedarnya saja. Darurat artinya suatu keadaan yang
mendesak di mana jika seseorang tidak segera melakukan tindakan secepatnya akan
membawa kehancuran atau kematian.
3) Bunga
bank hukumnya halal.
Hukum bunga bank
diperbolehkan karena beberapa sebab yaitu:
a) Darurat (terpaksa). Darurat adalah keadaan
mendesak di mana jika seseorang tidak segera melakukan tindakan maka akan
membawa ke jurang kehancuran.
b) Untuk kebutuhan produktif, bukan untuk
kebutuhan konsumtif.
c) Bunga bank
dengan prosentase sangat kecil sehingga tidak memberatkan.
Dari
tiga pendapat di atas dapat disimpulkan yaitu hendaknya umat Islam hati-hati
dengan bunga bank dan umat Islam supaya menjauhkan diri sekuat tenaga atas
bunga bank tersebut karena menurut sebagian pendapat termasuk riba yang
hukumnya haram. Apalagi sekarang bermunculan bank-bank yang berprinsip syari’ah
yakni tidak menerapkan sistem bunga, tetapi dengan sistem bagi hasil.
Nama:Munifa Dian Nafila
BalasHapusKls :IX.1/9.1
No. :20
Nama :M.Rafif Alim
BalasHapusKls: 91
No:14
bilqis fitrah zakia
BalasHapus9.11
06
ds621 replica bags online ym209
BalasHapus